Sabtu, 07 Oktober 2017

Cerita Balik layar, sayang kalau hilang Begitu saja.

Apa yang kalian saksikan di sebuah box yang bernama tv itu, dibalik layarnya ada sebuah kegiatan yang sayang kalau tidak diceritakan.

squad team civic mission indonesia_banglades
Banglades menjadi negara ke 3 yg saya injak dengan embel-emel tugas dinas. Dengan embel-embel tugas itulah segalanya harus bisa sejalan, liputan sambil liburan saya menyebutnya sebagai lipuran.
Pesawat hercules c-130 yang membawa bantuan kemanusiaan dan tim civic missin indonesia tiba di bandara chittagong, banglades pukul 16.00 waktu setempat. Bekerja dengan waktu membuat saya dan rekan saya sesama media tv harus lebih ekstra, maklum ke myanmar hanya ada 2 tv yg berkesempatan, mengamankan gambar sebuah kewajiban walaupun masih sedikit goyang, kata orang itu namanya jat lag harus. Bagaimana tidak jatlag, empat jam tiga puluh menit pake hercules menuju banglades dan tiga jam menuju myanmar. Kuping berdenging dengar suara mesin, kedinginan dengan ac nya.

Buang Malu
bang, bagi passwrd wifi dong
Hal kedua setelah mengamankan gambar adalah membuat naskah ataupun sekedar garis besar informasi. Serta mengecek alat komunikasi. Sebenarnya saya dibekali sebuah alat live portable, sayangnya alat itu tidak bisa digunakan kerta mengandalkan modem serta kartu telekomunikasi masih dari indonesia, sudah diroaming tapi tidak bisa digunakan. Alhasil buang malu sebanyak-banyaknya.


Yak, kami menyebutnya buang malu, kerna kami tidak segan-segan menodong warga lokal yang berada di lokasi tuk berbagi sinyal. Hehehehe. Excuse me, Maaf apakah saya bisa berbagi sinyal internet, saya belum memiliki kartu lokal, bisakah anda menolong saya. Terimakasih. Sambil pasang muka senyum.
bang, passwrd tethering tadi apa ?
Pada suatu kesempatan, ada staff KBRI mau bersedia berbagi tethering dan langsung kami serbu ber 8, bagaimana tidak habis tu kuota. Perasaan nda enak menghampiri tapi bagaimana lagi. Kirim naskah online, disertai gambar, dan kami yang tv kirim video. Merasa lemot untuk kirim materi, saya pun berpindah orang mencari tethering yg lumyan kencang.


Gunakan kamera HP
Oh iya, berhubung mengambil gambar dengan peralatan semi profesional tidak memungkinkan tuk dikirim menggunakan sinyal teathering hp, alternatif kedua yakni menggunakan kamera hp. Kamera hp saaat ini sudah setara kamera-kamera yg biasa digunakan industri tv. Setelah mengambil gambar dengan durasi cukup, biasanya saya backup gambar menggunakan hp dengan durasi 5 menit.
Yang bikin sedikit kerepotan adalah harus gonta-ganti peralatan, sedangkan moment terus berjalan. Solusinya adalah, bawa holder hp yang biasa dipakai di tongsisi pasang diatas kamera, jadi sekali take bisa 2 alat perekam yg jalan dengan moment yang sama.
Terkadang sempat mikir hubungan antara kualitas perekaman dengan kuota yang terpakai. Ndak usah banyak mikir selama itu urusan kantor, batinku berkata. Hahahahahaaa.

Selalu ada hal baru
bersama Biplob majumder, jurnalis Banglades
Berkunjung ke suatu tempat yang sudah pasti hal baru, merupakan sisi positif dunia jurnalistik, apalgi bisa keluar negeri. Walaupun tugas nya se-abrek-abrek selalu menikmati tugas tersebut sehingga berdampak positif. Positif sekali yah hidup saya ini.


bersama Ronny Sajjad, Jurnalis Banglades
Jurnalis banglades bertanya kepada saya, umurnya saya memperkiran sama seperti saya. Dia bertanya, apakah kamu jurnalis, ya jawabku, saya jurnalis indonesia, sama seperti kamu. Posisi kamu sebagai apa, saya jawab lagi saya camera person, tapi kali ini saya berugas sebagai reporter, dan cameramen, dia menyambung editor juga ? saya jawab aja ia. Editor juga. Saya pun dapat apresiasi lebih. Saya pun bertanya balik posisi kamu sebagai apa ? dimana reporter kamu, dia bilang ia kita sama, saya hanya sebagai kamera person dan reporter saya berada disana. Oh ok. Nice too meet you ungkapku dan kami pun berswafoto tuk mengabadikan moment, hingga sekarang kami pun masih berkomunikasi via sosial media

Menjadi VJ
Artinya harus bisa melakukan peliputan secara mandiri baik itu sebagai reporter, camera person, mengoprasikan alat live, editing dan juga semua pekerjaan lapangan. Menurutku ini pekerjaan berat yang harus extra sabar menghadapi segala macam permintaan stake holder dikantor, sedangkan insting memilah dan memecah angle berita bagi saya tidak secakap kalau pekerjaan itu dilakukan secara bersama. Untungnya rekan sesama jurnali bisa saling support dan bantu.


Beruntung alat live nya tidak bisa terpakai dikarenakan roimingnya tidak bisa digunakan, huhurray, live pun tidak bisa, sebagai alternatif nya adalah live yang direkam, apalagi Kecepatan internet di penginapan terbilang lambat hanya 50kbps, dan di bandara pun juga demikian.
Sebenarnya dibanding live yg direkam alias LOT, live beneran live lebih mudah dan jika terdapat kesalahan bisa langsung dikoreksi, mohon maaf maksud saya...., tapi klo tidak sempat dikoreksi bisa fatal informasi yang disamapaikan. Sedangkan LOT kalau salah sedikit saja harus diulang dari awal dan yaitu ketika
salah harus di re take ulang sampai tidak salah, sama-sama sulitkan, sulit bagi saya mungkin.


Mana yang lebih maju Banglades atau Indonesia ?
mungkin ini bisa jadi subjektif sih, setelah selesai melakukan peliputan di hari pertama kedatangan kami di chittagong, klo tidak salah pukul sembilan malam. kami menuju penginapan dari bandara, saya merasakan semrawutnya lalu lintas indonesia lebih semrawut disana, jika org berkendara cendecerung menghindari, disana seperti mencari lawan. buktinya apa ? kendaraan disana sebagus apapun itu pakai bumper pagar rumah stainless cuy. bemo atau bajajnya seluruhnya besi tapi satu hal yg saya salute adalah bakan bakarnya menggunakan bahan bakar gas. sudahlah jalan padat, ngebut serasa sport jantung dibawa nya kami. 

Mencari kartu telekomunikasi
Tidak seperti di Indonesia, memiliki kartu telekomunikasi di banglades sedikit ketat, pemerintah sana membuat peraturan kalau kartu hanya bisa untuk satu orang, kami bertanya pada resepsionis hotel, kalau membeli kartu disini harus menggunakan tanda pengenal dan harus scan sidik jari. Wow, prosesnya sudah sama seperti membuat e-ktp di In
donesia.
Di banglades membeli kartu harus menggunakan id, kerna kami bukan warga lokal, jadi passport menjadi tanda pengenal kami, kemudian ada scan jari dan juga menggunakan pas foto. Dan pas fhoto iniah yang membuat kami sedikit keteteran kerna harus cetak foto dahulu.
Beda banglades, beda lagi Myanmar, Myanmar seperti di Indonesia, sim card dijual bebas. Saya berfikir kalau memiliki sim card indonesia harus seketat banglades, meminimalisir kejahatan menggunakan jalur telekomunikasi. Di Banglades jaringan terkuat group Axiata, sedangkan myanmar semacam perusahaan telekomunikasi lokal sana serta group ooredo.

Begitulah sedikit cerita balik layar ketika mengawal bantuan kemanusiaan dari Indonesia untuk korban konflik rakhine state di banglades. Next Myamar


saya yang dibelakang, yang lagi jongkok.
Sampai jumpa di curhatan selanjutnya....selalu berpositif ria. Berkarya dan Bekerja dengan bahagia dan iklas _BEDEBAH coz epridey is holidey.
Sarungan di Myanmar...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar