Apa yang kalian saksikan
di sebuah box yang bernama tv itu, dibalik layarnya ada sebuah kegiatan yang
sayang kalau tidak diceritakan.
squad team civic mission indonesia_banglades |
Banglades menjadi negara
ke 3 yg saya injak dengan embel-emel tugas dinas. Dengan embel-embel tugas
itulah segalanya harus bisa sejalan, liputan sambil liburan saya menyebutnya
sebagai lipuran.
Pesawat hercules c-130
yang membawa bantuan kemanusiaan dan tim civic missin indonesia tiba di bandara
chittagong, banglades pukul 16.00 waktu setempat. Bekerja dengan waktu membuat
saya dan rekan saya sesama media tv harus lebih ekstra, maklum ke myanmar hanya
ada 2 tv yg berkesempatan, mengamankan gambar sebuah kewajiban walaupun masih
sedikit goyang, kata orang itu namanya jat lag harus. Bagaimana tidak jatlag,
empat jam tiga puluh menit pake hercules menuju banglades dan tiga jam menuju
myanmar. Kuping berdenging dengar suara mesin, kedinginan dengan ac nya.
Buang Malu
bang, bagi passwrd wifi dong |
Hal kedua setelah
mengamankan gambar adalah membuat naskah ataupun sekedar garis besar informasi.
Serta mengecek alat komunikasi. Sebenarnya saya dibekali sebuah alat live
portable, sayangnya alat itu tidak bisa digunakan kerta mengandalkan modem
serta kartu telekomunikasi masih dari indonesia, sudah diroaming tapi tidak
bisa digunakan. Alhasil buang malu sebanyak-banyaknya.
Yak, kami menyebutnya
buang malu, kerna kami tidak segan-segan menodong warga lokal yang berada di
lokasi tuk berbagi sinyal. Hehehehe. Excuse me, Maaf apakah saya bisa berbagi
sinyal internet, saya belum memiliki kartu lokal, bisakah anda menolong saya. Terimakasih.
Sambil pasang muka senyum.
bang, passwrd tethering tadi apa ? |
Pada suatu kesempatan,
ada staff KBRI mau bersedia berbagi tethering dan langsung kami serbu ber 8,
bagaimana tidak habis tu kuota. Perasaan nda enak menghampiri tapi bagaimana
lagi. Kirim naskah online, disertai gambar, dan kami yang tv kirim video. Merasa
lemot untuk kirim materi, saya pun berpindah orang mencari tethering yg lumyan
kencang.
Gunakan kamera HP
Oh iya, berhubung
mengambil gambar dengan peralatan semi profesional tidak memungkinkan tuk
dikirim menggunakan sinyal teathering hp, alternatif kedua yakni menggunakan
kamera hp. Kamera hp saaat ini sudah setara kamera-kamera yg biasa digunakan
industri tv. Setelah mengambil gambar dengan durasi cukup, biasanya saya backup
gambar menggunakan hp dengan durasi 5 menit.
Yang bikin sedikit
kerepotan adalah harus gonta-ganti peralatan, sedangkan moment terus berjalan. Solusinya
adalah, bawa holder hp yang biasa dipakai di tongsisi pasang diatas kamera,
jadi sekali take bisa 2 alat perekam yg jalan dengan moment yang sama.
Terkadang sempat mikir
hubungan antara kualitas perekaman dengan kuota yang terpakai. Ndak usah banyak
mikir selama itu urusan kantor, batinku berkata. Hahahahahaaa.
Selalu ada hal baru
bersama Biplob majumder, jurnalis Banglades |
Berkunjung ke suatu tempat
yang sudah pasti hal baru, merupakan sisi positif dunia jurnalistik, apalgi
bisa keluar negeri. Walaupun tugas nya se-abrek-abrek selalu menikmati tugas
tersebut sehingga berdampak positif. Positif sekali yah hidup saya ini.
bersama Ronny Sajjad, Jurnalis Banglades |
Jurnalis banglades
bertanya kepada saya, umurnya saya memperkiran sama seperti saya. Dia bertanya,
apakah kamu jurnalis, ya jawabku, saya jurnalis indonesia, sama seperti kamu. Posisi
kamu sebagai apa, saya jawab lagi saya camera person, tapi kali ini saya
berugas sebagai reporter, dan cameramen, dia menyambung editor juga ? saya
jawab aja ia. Editor juga. Saya pun dapat apresiasi lebih. Saya pun bertanya
balik posisi kamu sebagai apa ? dimana reporter kamu, dia bilang ia kita sama,
saya hanya sebagai kamera person dan reporter saya berada disana. Oh ok. Nice too
meet you ungkapku dan kami pun berswafoto tuk mengabadikan moment, hingga
sekarang kami pun masih berkomunikasi via sosial media
Menjadi VJ
Artinya harus bisa
melakukan peliputan secara mandiri baik itu sebagai reporter, camera person,
mengoprasikan alat live, editing dan juga semua pekerjaan lapangan. Menurutku ini
pekerjaan berat yang harus extra sabar menghadapi segala macam permintaan stake
holder dikantor, sedangkan insting memilah dan memecah angle berita bagi saya
tidak secakap kalau pekerjaan itu dilakukan secara bersama. Untungnya rekan
sesama jurnali bisa saling support dan bantu.
Beruntung alat live nya
tidak bisa terpakai dikarenakan roimingnya tidak bisa digunakan, huhurray, live
pun tidak bisa, sebagai alternatif nya adalah live yang direkam, apalagi Kecepatan
internet di penginapan terbilang lambat hanya 50kbps, dan di bandara pun juga
demikian.
Sebenarnya dibanding live
yg direkam alias LOT, live beneran live lebih mudah dan jika terdapat kesalahan
bisa langsung dikoreksi, mohon maaf maksud saya...., tapi klo tidak sempat
dikoreksi bisa fatal informasi yang disamapaikan. Sedangkan LOT kalau salah
sedikit saja harus diulang dari awal dan yaitu ketika
salah harus di re take
ulang sampai tidak salah, sama-sama sulitkan, sulit bagi saya mungkin.
Mana yang lebih maju Banglades atau Indonesia ?
mungkin ini bisa jadi subjektif sih, setelah selesai melakukan peliputan di hari pertama kedatangan kami di chittagong, klo tidak salah pukul sembilan malam. kami menuju penginapan dari bandara, saya merasakan semrawutnya lalu lintas indonesia lebih semrawut disana, jika org berkendara cendecerung menghindari, disana seperti mencari lawan. buktinya apa ? kendaraan disana sebagus apapun itu pakai bumper pagar rumah stainless cuy. bemo atau bajajnya seluruhnya besi tapi satu hal yg saya salute adalah bakan bakarnya menggunakan bahan bakar gas. sudahlah jalan padat, ngebut serasa sport jantung dibawa nya kami.
Mencari kartu telekomunikasi
Tidak seperti di
Indonesia, memiliki kartu telekomunikasi di banglades sedikit ketat, pemerintah
sana membuat peraturan kalau kartu hanya bisa untuk satu orang, kami bertanya
pada resepsionis hotel, kalau membeli kartu disini harus menggunakan tanda
pengenal dan harus scan sidik jari. Wow, prosesnya sudah sama seperti membuat
e-ktp di In
donesia.
Di banglades membeli
kartu harus menggunakan id, kerna kami bukan warga lokal, jadi passport menjadi
tanda pengenal kami, kemudian ada scan jari dan juga menggunakan pas foto. Dan pas
fhoto iniah yang membuat kami sedikit keteteran kerna harus cetak foto dahulu.
Beda banglades, beda lagi
Myanmar, Myanmar seperti di Indonesia, sim card dijual bebas. Saya berfikir
kalau memiliki sim card indonesia harus seketat banglades, meminimalisir
kejahatan menggunakan jalur telekomunikasi. Di Banglades jaringan terkuat group
Axiata, sedangkan myanmar semacam perusahaan telekomunikasi lokal sana serta
group ooredo.
Begitulah sedikit cerita
balik layar ketika mengawal bantuan kemanusiaan dari Indonesia untuk korban
konflik rakhine state di banglades. Next Myamar
saya yang dibelakang, yang lagi jongkok. |
Sampai jumpa di curhatan
selanjutnya....selalu berpositif ria. Berkarya dan Bekerja dengan bahagia dan
iklas _BEDEBAH coz epridey is holidey.
Sarungan di Myanmar... |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar